Selasa, 28 September 2010

keajaiban alam

keajaiban alam
..........................................................................

Senin, 22 Juni 2009

MANA JANJIMU?

Konon khabarnya, ada seorang nabi yang pernah berdialog dengan malaikat maut. Nabi Allah ini bermohon kepada malaikat maut, "Wahai malaikat maut, bila tiba waktunya engkau diperintah Allah untuk mencabut nyawaku, sudikah engkau menampakkan dirimu jauh-jauh hari sebelumnya untuk memperingatkan aku?"

Malaikat maut pun spontan menjawab, "Karena engkau nabi Allah, aku akan penuhi permintaanmu itu!"

Singkat cerita, setelah beberapa lama kemudian datanglah malaikat maut menjumpai sang nabi yang saat itu sedang lesehan melepaskan lelah, "Wahai nabi Allah, tibalah saatnya aku ditugaskan Allah untuk menjemputmu!" Dengan keheranan Nabi itu pun bertanya, "Bukankah engkau telah berjanji padaku akan memperingatkan aku jauh-jauh hari sebelum saat ini terjadi? Mengapa eng­kau sekarang ingkar janji?"

Kata malaikat maut, "Wahai nabi Allah, sebenarnya aku ini tidak pernah ingkar janji, hanya engkau saja yang tidak menyadari. Bukankah aku telah 'menampakkan' diriku berkali-kali ketika mengunjungi umatmu? Bu­kankah baru kemarin aku datang menjemput keponakanmu sementara engkau berada disana? Apakah engkau tidak menyadari bahwa saat itu akulah yang datang?" Malaikat maut berbalik bertanya.

Para hadirin, Ibu-ibu dan Bapak-bapak khalifah Allah, mudah-mudahan kisah ini dapat mengingatkan kita. Bila kita melihat ada kernatian, perlu kita sadari, bahwa kejadian itu merupakan peringatan dari malaikat maut yang ditujukan kepada kita. Malaikat maut secara tersirat memberi isyarat pada kita, bah­wa giliran kita pun akan segera menyusul.

Di dalam riwayat lain yang terdapat pada kitab Zahri Riyadh, disebutkan bahwa nabi Yakub bersahabat dengan malaikat maut. Suatu ketika malaikat maut datang mengunjunginya. Yakub bertanya kepadanya, "Hai malaikat maut, engkau datang sekedar mengunjungiku atau hendak mencabut nyawaku?"

Malaikat maut pun menjawab, "Aku hanya datang berkunjung."

Lalu Yakub berkata lagi, "Aku mohon engkau mau memenuhi satu permintaanku." "Apakah permintaanmu itu, wahai nabi Allah?"

"Bila ajalku telah mendekat, tolong engkau beritahukan padaku sebelumnya."

Kata malaikat maut, "Baiklah, nanti akan aku kirimkan kepadamu dua atau tiga orang utusan."

Ketika Yakub sampai ajalnya, datanglah malaikat maut padanya. Dan sebagaimana biasanya, Yakub pun bertanya, "Apakah kamu hanya berkunjung atau hendak mencabut nyawaku?"

"Kali ini aku datang diperintah Allah untuk mencabut nyawamu!"

Dengan keheranan Yakub bertanya, "Bukankah engkau telah berjanji padaku akan mengirimkan dua atau tiga utusan?"

"Benar! Dan hal itu telah aku lakukan. Keputihan rambutmu setelah hitam sebelumnya; kelemahan tubuhmu setelah kuat sebelumnya; dan kebongkokan tubuhmu setelah tegak sebelumnya. Tidakkah engkau sadar bahwa semua itu adalah utusanku pada anak Adam sebelum ia mati?"

Rupanya hal ini jarang disadari oleh kebanyakan orang, bahwa uban yang muncul di kepala kita, tubuh yang terasa menjadi lebih lemah dibandingkan saat muda dulu, merupakan "utusan" yang menyampaikan signal bahwa sudah waktunya kita memperhitungkan saat kematian kita, sebagaimana sabda Rasulullah saw, "Manusia yang paling cerdik ialah yang terbanyak mengingat kematian, serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapai kematian itu. Mereka itu adalah yang benar-benar cerdik, dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan dunia serta kemuliaan akhirat –HR.Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim.

Para hadirin, khalifah Allah yang berbahagia, demikianlah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, mudah-mudahan introspeksi ini dapat mengingatkan kita, betapa pentingnya untuk mengingat-ngingat kematian. Seorang sufi yang hidup pada abad kesepuluh yaitu Abu Hamzah Al-Khurasani mengatakan, "Barangsiapa telah merasakan ingat kematian, maka Allah akan menjadikan ia senang mencari pahala dan benci terhadap dosa."Sedangkan Rasulullah saw. sendiri ketika ditanya oleh sahabat, "Ya Rasulullah, apakah ada orang yang dikumpulkan bersama syuhada di akhirat nanti? Maka Nabi menjawab, "Ya ada. Yaitu orang yang selalu mengingat mati dua puluh kali dalam sehari!"

Billahi taufiq walhidayah, wassalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh.

Senin, 09 Maret 2009

KEBODOHAN UNIVERSAL

Ada sebuah ilustrasi yang menarik untuk kita renungkan bersama-sama pada kesempatan ini, karena jangan-jangan akibat kesibukan kita, kita masuk dalam kelompok orang yang merugi, yaitu orang yang membuang-buang percuma sesuatu yang paling berharga yang dimilikinya.
Jika ada seorang pemuda mendapat warisan banyak dari orang tuanya, tetapi kemudian ia membelanjakannya tanpa perhitungan, bagaimana pandangan kita. Pastilah kita akan menyayangkannya, dan menganggap pemu­da itu sebagai orang yang bodoh. Sekarang marilah kita perhatikan diri kita; jangan-jangan kita lupa kalau kita sendiri pun tanpa disadari, seringkali bersikap seperti yang dilakukan pe­muda itu. Kita acapkali menghabiskan modal yang paling bemilai yang kita miliki, hanya untuk sesuatu yang sama sekali tidak berarti. Apakah modal manusia yang paling benilai? Tidak diragukan lagi, itulah usia! Bukankah umur merupakan modal yang paling besar bagi manusia? Dalam hal ini Nabi kita yang mulia bersabda,"Kemuliaan umur dan waktu, Lebih Bernilai diBandingkan Kemuliaan Hiarta." Bila kita perhatikan dengan cermat, manu­sia itu pada hakikatnya adalah pengendara di atas punggung usia. la menempuh perjalanan hidupnya, melewati hari demi hari, menjauhi dunia dan mendekati liang kubur. Dalam hal ini ada seorang bijak yang mengutarakan keheranannya, "Aku Heran Terhadap orang yang menyambut dunia yang sedang pergi meninggalkannya, tetapi malahan berpaling dari akhiirat yang sedang berjalan menuju kepadanya."
Kadang-kadang kita heran juga dengan sikap kita sendiri. Kenapa kita mudah menangis bila harta benda kita berkurang, sebaliknya tidak pernah menangis bila usia kita yang berkurang? Bukankah tidak ada yang lebih benilai bagi manusia selain usianya? Ironisnya lagi, kehilangan usia ini malahan kita rayakan dengan sesemarak mungkin. Barangkali inilah satu-satunya “kebodohan manu­sia yang bersifat universal”, yaitu merayakan dengan meriah kehilangan sesuatu yang sangat berarti bagi dirinya. Padahal semua orang mengerti, bahwa yang hilang ini benar-benar menguap dan tidak akan pernah menjadi milik kita lagi.
Saudaraku yang berbahagia, ada lagi yang aneh pada diri kita. Yaitu kita mau berjuang mati-matian mengerahkan seluruh daya dan potensi yang ada untuk mendapatkan sesuatu yang belum pasti kita peroleh; sementara untuk hal yang sudah pasti terjadi, kita hadapi dengan usaha yang sekedarnya saja. Bukankah satu-satunya kepastian bagi manusia itu adalah hanya kematian? Tidakkah kita sadari, bahwa sebenarnya kita semua sedang berkarya dalam batas hari-hari yang pendek untuk hari-hari yang panjang?
Lalu mengapa kita selalu cenderung membangun istana duniawi, sedangkan istana akhirat kita abaikan?
Bila kita sadar dengan tujuan keberadaan kita di dunia, maka pastilah kita menjadikan usia sebagai sesuatu yang paling berharga. la lebih mahal dari emas, intan berlian, atau batu mulia apa pun. Oleh sebab itu, ia harus digunakan seoptimal mungkin.
Ada perkataan seorang bijak yang sangat baik kita renungkan, katanya : "Aku tidak menyesali sesuatu seperti menyesalku terhadap tenggelamnya matahari yang berarti umurku berkurang, akan tetapi amal salehku tidak bertambah."
Mengapa kita biarkan umur kita berlalu begitu saja tanpa melakukan sesuatu yang berarti? Apakah sudah demikian parahnya kebodohan kita, sehingga rela menghabiskan modal yang paling bernilai untuk sesuatu yang tidak bernilai? Bukankah kita harus mempertanggung jawabkan setiap menit yang berla­lu? Firman Allah dalam surat Al-Mukmi-nun:115 sangat tegas menegaskan hal ini, "Apakah kamu sekalian mengira, bahwa Kami menciptakan kamu sia-sia dan kepada Kami kamu tidak dikembalikan?"
Saudaraku, demikianlah yang dapat disampaikan pada kesempatan ini, mudah-mudahan renungan ini mampu menggugah hati nurani kita, sehingga kita tidak mau lagi membuang-buang umur dengan percuma, apalagi bersukacita pada saat umur kita berlalu. Sebuah pepatah mengatakan, "Kuburan akan datang ke setiap orang dengan kecepatan 60 menit per jam, tidak peduli sekaya atau sesehat apapun kita sekarang ."
Kurang lebihnya mohon dapat dimaklumi dan dimaafkan. Billahi taufiq walhidayah, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

BELAJARLAH DARI BURUNG DAN CACING

Allah berfirman dalam Al-Qur'an pada surat An-Nahl ayat66, yang artinya :
"Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu."
Pada saat krisis moneter yang berkepan-jangan ini, marilah kita meluangkan waktu untuk bertafakur sejenak. Karena Rasulullah Saw. telah bersabda, "'Bertafakur sejenak lebih. baik danpada ibadafi satu tahun."
Marilah kita kaji pelajaran yang diberikan oleh burung dan cacing.
Seorang ulama besar mengatakan, bila kita sedang mengalami kesulitan hidup karena himpitan kebutuhan materi, maka cobalah kita ingat pada burung dan cacing.
Burung setiap pagi keluar dari sarangnya untuk mencari makan tanpa mengetahui di mana ia harus mendapatkannya. Karena itu, kadangkala sore hari ia pulang dalam keadaan perut kenyang, kadangkala ia pulang dengan membawa oleh-oleh makanan untuk keluarganya; tetapi sering juga ia pulang ke sarang­nya dengan perut yang masih keroncongan. Meskipun burung tampaknya lebih sering me­ngalami kekurangan makanan karena tidak punya 'kantor' yang tetap (apalagi setelah lahannya berubah menjadi real estate), namun yang jelas kita tidak pernah melihat ada bu­rung yang berusaha untuk bunuh diri. Kita tidak pernah melihat burung yang tiba-tiba menukik membenturkan kepalanya ke batu cadas; atau kita pun tidak pernah melihat ada burung yang sekonyong-konyong meluncurkan dirinya ke dalam sungai. Nampaknya bu­rung menyadari benar bahwa demikianlah hidup, suatu waktu berada di atas, lain waktu terhempas ke bawah. Suatu waktu kekenyangan, lain waktu kelaparan.
Saudaraku yang berbahagia, sekarang marilah kita lihat binatang yang lebih lemah dari burung, yaitu cacing. Cacing seolah-olah tidak mempunyai sarana yang layak untuk mencari makanannya. Cacing tidak mempunyai tangan, kaki, tanduk atau bahkan mungkin ia tidak mem­punyai mata dan telinga. Tetapi cacing serupa dengan makhlukTuhan lainnya, yaitu ia mem­punyai perut yang bila tidak diisi maka ia akan mati.
Kalau kita bandingkan dengan manusia, maka sarana yang dimiliki manusia untuk mencari nafkah jauh lebih canggih daripada yang dimiliki cacing. Tetapi mengapa manu­sia yang diciptakan Tuhan paling sempuma dibandingkan dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain itu, banyak yang kalah hanya de­ngan seekor cacing. Manusia banyak yang bunuh diri akibat merasa kesulitan dalam mencari nafkah hidupnya, sementara kita ti­dak pernah melihat ada cacing yang membentur-benturkan kepalanya ke batu!
Mudah-mudahan diwaktu kita terhimpit dalam kesusahan untuk mencari kebutuhan materi, kita tidak rela kalah dengan burung, apalagi cacing

PENYELAM MUTIARA

Perjalanan hidup manusia tidak ubahnya bagaikan kisah penyelam mutiara. Seorang penyelam mutiara, dalam melaksana-kan tugasnya selalu dibekali dengan tabung oksigen yang terpasang di punggungnya. Pada saat ia terjun menyelam, niatnya bulat ingin mencari tiram mutiara sebanyak-banyaknya. Tetapi begitu ia berada di bawah permukaan laut, ia mulai lupa pada apa yang harus dicari-nya. Kenapa? Teryata pemandangan di da­lam laut sangat mempesona. Bunga karang yang melambai-lambai seolah-olah memanggilnya; ikan-ikan hias berwarna-warni yang saling berkejaran dengan riangnya membuatnya terpana. la pun lalu terlena ikut bercanda ria, melupakan tugasnya semula untuk men­cari tiram mutiara yang berada jauh di dasar laut sana.
Hingga pada suatu saat, dia terkejut manakala disadarinya oksigen yang berada di pung­gungnya tinggal sedikit lagi. Timbullah rasa takutnya. Tak terbayangkan olehnya bagaimana kemarahan majikannya kelak bila ia muncul ke permukaan tanpa membawa tiram mutiara sebanyak yang diharapkan. Maka de­ngan tergopoh-gopoh ia pun berusaha untuk mencari tiram mutiara yang ada di sekitarnya. Namun sayang, kekuatan fisiknya sudah melemah, enersinya sudah habis terkuras bercanda ria dengan keindahan alam bawah laut.
Akhirnya isi tabung oksigennya benar-benar kosong, sehingga walaupun tiram mu­tiara yang diperolehnya sangat sedikit, ia mau tidak mau harus muncul ke permukaan. Malangnya lagi, karena tergesa-gesa dia tidak sempat mengikat kantongnya dengan baik, sehingga ketika tersenggol ikan yang ber-seliweran di sampingnya, tiram mutiara yang sudah didapatnya dengan susah payah itu sebagian tertumpah ke luar.
Di permukaan, majikannya telah menunggu. Begitu dilihatnya isi kantong si penyelam tidak berisi tiram mutiara sebagaimana yang ia harapkan, maka tumpahlah caci makinya; dan saat itu juga si penyelam dipecatnya tanpa pesangon sedikitpun! Tentu saja bisa kita bayangkan bagaimana gundahnya perasaan si penyelam!
Dengan penuh rasa penyesalan, si penye­lam berusaha meminta kesempatan ulang untuk menyelam kembali, "Tuan, ijinkanlah aku untuk menyelam kembali, pasti aku akan mencari tiram mutiara sebanyak-banyaknya!" Namun majikannya dengan tegas menolak, "Percuma engkau aku beri kesempatan, ternyata engkau hanya pandai membuang-buang oksigen saja!"
Kisah ini amat mirip dengan perjalanan hidup manusia di dunia. Tabung oksigen adalah perlambang jatah umur manusia; tiram mu­tiara mengibaratkan pahala yang harus kita kumpulkan; dan tiram mutiara yang tumpah mengumpamakan pahala yang hilang karena riya'; sedangkan keindahan yang ada di dalam lautan melambangkan godaan-godaan kenikmatan duniawi dengan harta, tahta dan wanitanya!
Marilah kita introspeksi, sudah cukupkah tiram mutiara yang kita peroleh, sehingga bila suatu saat kita harus muncul ke permukaan menemui majikan kita, Allah swt, la ridha menerima kita.... Apalagi la telah berfirman dalam surat Al-Ankabuut:64 : "Tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main, sesungguhnya akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidu­pan."